
SALAH satu isu mendasar bagi Indonesia yaitu kemerdekaan Palestina dari penjajahan Israel. Pemerintah banyak melakukan sejumlah terobosan untuk membela negeri itu yang termasuk pertama mengakui kemerdekaan Indonesia.
Langkah teranyar yaitu pemerintah ingin menerima 2.000 warga Jalur Gaza untuk dirawat di Pulau Galang, Kepulauan Riau, serta ikut serta menerjunkan bantuan kemanusiaan via udara (airdrop) seperti yang dilakukan beberapa negara. Indonesia juga siap mengirimkan pasukan perdamaian dan bantuan 10 ribu ton beras ke Gaza.
Pemerintah juga aktif menggalang dukungan organisasi dunia dan negara untuk membela Palestina. Baru-baru ini, Komite Menteri yang dimandatkan oleh KTT Luar Biasa Arab-Islam terkait perkembangan di Gaza mengecam keras dan menolak tegas atas pengumuman Israel tentang niatnya memaksakan kontrol militer penuh atas Jalur Gaza. Komite yang terdiri dari 23 negara Islam itu, termasuk Indonesia, serta Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), menegaskan bahwa tindakan yang dinyatakan oleh Israel merupakan kelanjutan dari pelanggaran berat mereka.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Internasional mengenai Implementasi Solusi Dua Negara yang diselenggarakan Prancis dan Arab Saudi di Markas Besar PBB New York pada 29 Juli 2025, Indonesia turut bersuara. Dalam konferensi tersebut, Indonesia menegaskan tiga langkah utama untuk mewujudkan Solusi Dua Negara. Langkah itu ialah pengakuan dua negara haruslah bersifat strategis, kekerasan terhadap warga Palestina harus segera dihentikan, dan masa depan Palestina harus dipimpin oleh rakyatnya sendiri.
Menanggapi dukungan diplomasi Indonesia terhadap Palestina, pakar hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Suzie Sudarman, menyatakan bahwa kekuatan negara veto di Dewan Keamanan PBB membatasi gerak negara-negara berkembang. "Kita hanya bisa berupaya melalui diskursus agar negara lain melihat isu yang sama, baik di PBB maupun organisasi multilateral lain," ucapnya.
Untuk bantuan kemanusiaan, menurut Suzie, meski diapresiasi warga Palestina, dampaknya belum cukup signifikan. "Masalah Palestina itu super besar dan berada dalam sphere of influence negara-negara besar Timur Tengah. Bantuan kita masih terlalu kecil untuk mengangkat citra Indonesia secara global," ujarnya.
Untuk itu, posisi Indonesia sebagai negara Non-Blok perlu diperkuat dengan menjalin dukungan masyarakat sipil. "Kekuasaan jejaring menjadi andalan. Masyarakat sipil mampu menciptakan jejaring internasional yang memperkuat posisi Indonesia," terang Suzie.
Meski Indonesia memiliki potensi menjadi mediator konflik global, ia menekankan hambatan besar dari negara-negara besar. "Pertemuan 29 Juli di New York menunjukkan upaya itu, tetapi Israel dan Hamas masih mengutamakan kekerasan senjata, dan Amerika Serikat tetap menggunakan veto untuk menggagalkan perdamaian," tegas Ketua Pusat Studi Amerika Universitas Indonesia (UI) itu.
Suzie menyarankan pendekatan jangka panjang agar Indonesia bisa lebih berpengaruh dalam menjaga ketertiban dunia. "Pertama, kabinet pemerintah harus diisi kalangan ahli yang bisa menciptakan perekonomian untuk kesejahteraan rakyat. Selama kita sibuk membagi jabatan dan konflik dalam negeri, akan sulit menjalankan amanat UUD 1945," pungkasnya.
Pakar hubungan internasional Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, juga mengusulkan agar RI menggalang solidaritas Gerakan Non Blok (GNB) untuk mendorong reformasi PBB, memanfaatkan media massa di negara GNB, OKI, dan Liga Arab, serta membangun koalisi moral dengan komunitas Yahudi global. Menjelang Sidang Majelis Umum PBB pada September mendatang, seyogianya Indonesia mengingatkan kembali dunia untuk mendalami prinsip-prinsip Uniting For Peace Resolution tahun 1950, tetapi dalam konteks kekinian.
"Bung Karno menyatakannya dengan sangat baik pada pidatonya yang berjudul To Build the World a New di Sidang Umum PBB tahun 1960 yang menjadi Memory of the World. Para Presiden RI selanjutnya juga secara terbuka menyatakan dukungan pada berbagai forum internasional. Bahkan pidato itu sering digunakan kata kunci bahwa dalam hela napas Indonesia, ada Palestina di sana," pungkas Rezasyah. (Ant/I-2)