REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Visi Indonesia Emas 2045 ditargetkan membawa negeri ini menjadi sejahtera, bebas dari kemiskinan ekstrem, dan masuk dalam jajaran kekuatan ekonomi terbesar dunia. Target tersebut mencakup antara lain peningkatan pendapatan per kapita nasional hingga 23.900 dolar Amerika Serikat (AS) pada 2045 mendatang.
Hal itu disampaikan Prof Mahfud MD dalam acara Muzakarah Ulama dan Cendekiawan di Masjid Istiqlal Jakarta, hari ini. Menurut mantan menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan (menko polhukam) itu, tolok ukur Indonesia Emas bisa dilihat dari ketiadaan orang yang miskin ekstrem.
"Apa itu Indonesia Emas? Itu satu gambaran, tidak ada orang miskin, Indonesia sudah merdeka, adil, makmur, bersatu, berdaulat. Itu gambarannya," ujar Mahfud MD di Jakarta, Rabu (27/8/2025).
Ia menegaskan, visi Indonesia Emas berarti pemerataan kesejahteraan yang lebih adil, termasuk menghapus ketimpangan penguasaan lahan. Tidak ada lagi fenomena bahwa 1 persen penduduk yang kaya raya menguasai 67 persen lahan. Pada saat yang sama, 99 persen penduduk Indonesia hanya menikmati 33 persen sisa lahan yang ada. Mahfud mengingatkan, komparasi demikian termaktub dalam sebuah buku karya Presiden Prabowo Subianto.
"Indonesia emas itu, tidak ada perbandingan kekayaan 1 persen penduduk Indonesia menguasai 67 persen lahan. Sementara 99 persen penduduk Indonesia, hanya menikmati 33 persen sisanya," kata Mahfud.
Lebih jauh, Mahfud menegaskan indikator utama Indonesia Emas 2045 adalah lonjakan pendapatan per kapita. Kemudian, paling banyak hanya akan tersisa 2 hingga 3 persen penduduk Indonesia yang masuk kategori miskin relatif pada 2045.
"Indikatornya, satu pendapatan per kapita Indonesia emas itu adalah 23.900 dolar AS nanti di tahun 2045. Sudah dihitung pasti akan sampai ke sana kalau selamat," ucapnya.
Dalam paparannya, Mahfud menyinggung bahwa pencapaian Indonesia Emas hanya mungkin terwujud melalui demokrasi. Namun, ia mengingatkan bahwa demokrasi bukanlah satu-satunya jalan menuju kesejahteraan, melainkan sebuah kesepakatan bangsa.
"Demokrasi itu bukan soal benar-salah. Itu pilihan. Kalau bisa demokrasi atau otoriter atau monarki, kenapa? Yang penting sejahtera, kan gitu, karena itu memang tidak ada yang salah," tegasnya.