
Ombudsman RI menduga adanya maladministrasi dalam tata kelola Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dengan potensi kerugian negara mencapai Rp7 triliun. Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menegaskan investigasi tengah dilakukan untuk memastikan dugaan tersebut.
“Ombudsman mencatat potensi kerugian negara akibat tata kelola cadangan beras ini mencapai Rp7 triliun. Investigasi nanti untuk bisa melihat apakah benar ada potensi ini,” kata Yeka dalam konferensi pers di Jakarta.
Ia menjelaskan, potensi maladministrasi mencakup pembuangan stok beras atau disposal stock, penyaluran SPHP yang tidak berkualitas, kelangkaan beras di ritel modern, harga beras yang terus melampaui HET, hingga indikasi penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan CBP.
Terkait disposal stock, Ombudsman menemukan beras di Perum Bulog yang berpotensi terbuang mencapai 300 ribu ton, dengan kerugian ditaksir sekitar Rp4 triliun. Dari total stok Bulog sebesar 3,9 juta ton, sekitar 1,2 juta ton telah tersimpan lebih dari enam bulan.
“Sumber disposal stock tidak hanya berasal dari beras impor, melainkan juga dari pengadaan any quality,” ujar Yeka.
Ia juga menyoroti banyaknya keluhan masyarakat terkait mutu beras SPHP. “Tahun lalu masyarakat menyebut SPHP ini beras medium tapi setara premium. Tahun ini justru diwarnai banyak komplain soal kualitasnya,” jelasnya.
Ombudsman turut menemukan keterbatasan stok di ritel modern. Dari hasil survei di 35 ritel Jabodetabek, hampir seperempat tidak memiliki stok beras, sementara mayoritas hanya menjual beras premium. Harga rata-rata pun melonjak hingga Rp23.556 per kilogram, jauh di atas HET Rp14.900.
Yeka menegaskan, akar masalah bukan pada kekurangan pasokan, melainkan pengelolaan cadangan yang terlalu berlebihan. “Kami sudah mendorong agar cadangan pangan berada di angka 1,2 juta ton. Tapi pemerintah justru menetapkan 4 juta ton. Ini harus ada alasan yang jelas, bukan sekadar untuk menunjukkan wibawa karena bisa menimbun stok besar,” pungkasnya. (Z-10)