MENJELANG peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia, sejumlah aktivis Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia atau AKSI mendesak pemerintah mencabut kebijakan penulisan ulang sejarah. Mereka juga mendesak pencabutan penetapan hari kebudayaan nasional dan pemberian gelar kehormatan untuk orang-orang yang dinilai merusak kemanusiaan dan kebangsaan.
Aktivis yang bergabung dalam AKSI Ita Fatia Nadia mengatakan sejumlah kalangan cerdik atau sejarawan memanipulasi ingatan dan sejarah dengan tidak menuliskan pengalaman kelam dan traumatik yang dialami rakyat. “Kami mendesak pemerintah menghentikan praktik-praktik otoriter melalui kebijakan atau upaya lainnya yang mematikan demokrasi,” ujar Ita melalui siaran tertulis yang dikirim pada Jumat, 15 Agustus 2025.
Selain Ita, ada sederet tokoh yang bergabung dalam AKSI, di antaranya Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto, sejarawan Asvi Warman Adam (Sejarawan), dan aktivis hak asasi manusia Usman Hamid. Mereka mendesak pemerintah menghentikan kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi melalui berbagai instrumen hukum dan tindak kekerasan aparat terhadap berbagai elemen masyarakat yang bersuara kritis.
Menurut Ita, meskipun undang-undang subversif telah dicabut, kontrol penguasa atas rakyat terus berlanjut. Orde Baru membentuk negara keamanan nasional yang otoriter. Kini otoritarianisme itu hidup kembali. Dampaknya, menurut dia, rakyat kehilangan kedaulatan untuk mengontrol kekuasaan. Selain itu, kebijakan ekonomi terpusat telah menciptakan ketimpangan akut sekaligus korupsi sistemik dalam perusakan hutan, perampasan tanah, dan pengerukan tambang tanpa kontrol. "Keadilan pun hanya menjadi khayalan para korban dan rakyat pada umumnya."
Mantan Direktur Yayasan Kalyanamitra, lembaga pemerhati isu perempuan, menilai pemerintahan era Reformasi gagal mengubah negara keamanan nasional ala rezim Soeharto. Indonesia, kata dia kehilangan kesempatan mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Situasi seperti itu juga membuat sepuluh bulan Pemerintahan Prabowo Subianto dengan cepat menunjukkan ciri-ciri dan perangai Orde Baru, yaitu militeristik, penggunaan kekerasan, teror, mengabaikan hak asasi manusia, dan anti-intelektual. “Pemerintah Indonesia sedang dalam kemerosotan nasional karena hancurnya sendi-sendi pemerintahan demokratis yang kini digantikan oleh negara keamanan nasional,” kata Ita.
Rakyat, kata Ita, dilumpuhkan kesadaran sejarahnya serta kedaulatannya sebagai manusia yang berpikir sehingga melahirkan masyarakat yang pasif dan apolitis. Menurut dia, negara berdiri di atas infrastruktur impunitas, ketiadaan akuntabilitas terhadap pelanggaran HAM yang berat masa lalu yang menanamkan ketakutan dan kecemasan bagi generasi muda melalui jargon bahaya laten, ancaman asing, dan antek asing, atas nama nasionalisme darurat yang agresif. Padahal, yang dibutuhkan Indonesia adalah nasionalisme kemanusiaan yang progresif.
AKSI mengingatkan bahaya kemerosotan nasional yang tercermin dari hilangnya penghormatan harkat dan martabat manusia, penegakkan supremasi hukum, dan perlakuan setara bagi setiap anak bangsa. Padahal Indonesia pernah menjadi inspirasi dunia Ketika melawan kolonialisme melalui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Konferensi Asia Afrika 1955. “Warisan sejarah itu hilang akibat pelumpuhan kesadaran kebangsaan selama 60 tahun pasca 1965,”ujar dia.
Rencana pemerintah untuk melakukan penulisan ulang sejarah resmi Indonesia telah disampaikan oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon beberapa waktu lalu. Target penyelesaian proyek ini dirancang untuk bertepatan dengan peringatan proklamasi kemerdekaan Indonesia ke-80 pada 17 Agustus 2025.
Pembaruan buku sejarah ini akan dilakukan dengan mengedepankan perspektif Indonesia sentris untuk menghapus bias-bias kolonial, mempersatukan bangsa Indonesia, dan menjadikan sejarah relevan bagi generasi muda. Sejarah Indonesia akan ditulis dengan tone positif yang menonjolkan pencapaian, prestasi, dan peristiwa yang membanggakan.
Belakangan Menteri Fadli mengumumkan perilisan buku penulisan ulang sejarah Indonesia akan mundur dari wacana awal pada 17 Agustus 2025. Rencananya, buku tersebut bakal diterbitkan bertepatan dengan Hari Pahlawan atau pada 10 November. Sebab, Kementerian Kebudayaan tengah melakukan uji publik hingga seminar.
“Kami sudah ada uji publik lalu sekarang ini sedang kami lakukan reading. Mungkin ada dua sampai tiga kali lagi seminar,” kata Fadli Zon usai agenda Zikir Kebangsaan dan Ikrar Bela Negara di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, pada Ahad, 10 Agustus 2025.