Jakarta -
Ketika saya berdiri di depan jendela apartemen kecil di Depok, memandang langit yang kerap kelabu, hati ini sering teringat akan Sulawesi Barat. Rindu yang tak tertahankan muncul setiap kali saya melihat anak-anak bermain di ruang keluarga.
"Apa kabar ya udara di Wonomulyo?" bisik saya dalam hati, seolah ingin kembali merasakan segarnya angin pantai yang dulu begitu akrab.
Memori tentang udara bersih dan langit biru di Sulawesi Barat kembali menyeruak, terutama setelah berita dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyebut bahwa Mamuju, ibu kota provinsi Sulawesi Barat per 2 Juni 2024, memiliki udara terbersih di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kenangan indah tentang perjalanan bersama keluarga saat Idul Fitri dan Idul Adha di tahun 2022 dan 2023 silam selalu mengisi benak saya.
Kami mengunjungi nenek di Wonomulyo, sebuah daerah transmigran di Sulawesi Barat. Perjalanan dari Makassar memakan waktu 6-7 jam, melewati jalanan yang membelah pantai-pantai indah.
Setiap kali mobil kami melaju di jalanan yang berliku, angin pantai yang sejuk selalu menyapa, memberi energi baru di tengah lelahnya perjalanan.
Udara bersih yang saya hirup kala itu terasa seperti harta karun yang langka, sesuatu yang kini semakin sulit saya temukan di Depok.
Pertarungan Melawan Polusi
"Pa, kapan ya kita bisa ke Wonomulyo lagi?" tanya istri saya suatu malam, saat kami sedang berbincang di ruang keluarga saat anak-anak terlelap.
"Entahlah, saya juga rindu. Udara di sini bikin sesak, ya?" jawab saya sambil menarik nafas panjang.
Pindah ke Depok di 2024 membawa perubahan besar bagi kami. Dari udara segar Sulawesi Barat ke udara penuh polusi di Jabodetabek, tubuh kami harus beradaptasi dengan cepat.
Tapi, tiga bulan pertama tidaklah mudah. Anak-anak sering demam, batuk, dan flu. Si kecil yang baru berusia dua tahun bahkan beberapa kali harus dilarikan ke dokter karena berminggu-minggu flu, berat badannya bahkan turun.
Saya bisa merasakan kekhawatiran yang sama dari istri saya setiap kali dia menemani anak-anak kami yang sakit. "Pa, apakah kita harus terus begini? Bagaimana kesehatan mereka nanti?" tanyanya penuh kekhawatiran.
Sejak itu, saya mulai mencari informasi tentang tempat-tempat di Indonesia yang masih memiliki udara bersih. Dari pencarian itu, saya menemukan tentang Gili Iyang, sebuah pulau kecil di Sumenep, Madura, yang terkenal dengan kadar oksigennya yang tinggi.
Penelitian dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa kadar oksigen di Gili Iyang berada di atas rata-rata, menjadikannya salah satu tempat dengan udara terbersih di dunia.
Mendengar informasi ini, hati saya pun tergerak. "Bagaimana kalau kita rencanakan liburan ke Gili Iyang? Udara di sana bagus, pasti anak-anak juga akan lebih sehat," saya mencoba memberikan harapan kepada istri saya.
Namun, kenyataan selalu berbicara lain. Perjalanan ke Gili Iyang memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Meski demikian, impian itu tetap terjaga dalam benak saya.
Setiap kali saya menghirup udara yang penuh debu dan polusi di Blok M, bayangan tentang langit biru dan angin sejuk Gili Iyang selalu muncul. Saya membayangkan diri saya, istri, dan anak-anak bermain di tepi pantai, menikmati udara segar yang begitu kami rindukan.
Keinginan untuk menuliskan pengalaman ini dalam bentuk cerita perjalanan pun semakin kuat. "Saya ingin anak-anak tahu, Pa, kalau masih ada tempat yang udaranya bersih di dunia ini," kata istri saya suatu hari, dan saya tahu, kami punya impian yang sama.
Menjemput udara bersih
Hari-hari berlalu, dan meski impian untuk kembali ke udara segar Sulawesi Barat atau menjelajahi Gili Iyang belum terwujud, kami terus berusaha menjaga kesehatan di tengah polusi Jabodetabek.
Kami mulai lebih sering membawa anak-anak ke taman kota di Gelora Bung Karno atau ke taman Literasi di Blok M, mencari sedikit kesegaran di antara pohon-pohon yang tersisa di kota ini.
Namun, harapan untuk bisa kembali merasakan udara segar di tempat-tempat seperti Wonomulyo atau Gili Iyang tidak pernah padam. Setiap kali saya menceritakan kenangan kami di Sulawesi Barat kepada anak-anak, saya bisa melihat kilauan harapan di mata mereka.
"Satu hari nanti, kita pasti akan ke sana, Nak," bisik saya kepada anak sulung saya yang tengah tertidur.
"Kita akan bermain di pantai, menghirup udara segar, dan kamu akan tahu seperti apa rasanya hidup di tempat yang udaranya bersih," lanjut saya, seolah memberikan janji yang akan saya pegang teguh.
Ketika waktu itu tiba, ketika kami bisa melarikan diri sejenak dari hiruk-pikuk kota dan bernafas lega di bawah langit biru, saya tahu, itu akan menjadi momen yang tak terlupakan.
Perjalanan ini akan lebih dari sekedar liburan, ini adalah pencarian akan ketenangan, kesehatan, dan kebahagiaan untuk keluarga kecil kami. Dan ketika akhirnya saya duduk di tepi pantai Gili Iyang, dengan udara segar memenuhi paru-paru, saya akan mengingat kembali semua pengorbanan yang kami lakukan untuk mencapai momen ini.
"Pa, akhirnya kita bisa bernafas lega," saya membayangkan istri saya berkata, dan senyum lega pun akan menghiasi wajah kami.
Hingga hari itu tiba, saya akan terus bermimpi, terus merencanakan, dan terus mencari cara untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak kami, karena di tengah polusi dan hiruk-pikuk kota, harapan akan udara segar dan langit biru adalah cahaya yang menuntun langkah kami.
(msl/msl)