Seoul -
Efek dahsyat pandemi masih dirasakan oleh industri bebas bea atau duty free. Meningkatnya angka kunjungan turis tak otomatis membuat usaha mereka pulih.
Dilansir dari Korea Times pada Senin (26/8/2024), pejabat industri duty free mengaitkan kemerosotan bisnis terdampak nilai tukar mata uang won yang tinggi dan perubahan tren pariwisata.
Menurut Asosiasi Toko Bebas Bea Korsel, duty free membukukan penjualan sekitar 7,4 triliun won pada paruh pertama tahun ini, dengan peningkatan 13,6 persen dari 6,5 triliun won yang tercatat pada periode yang sama tahun lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, peningkatan itu tergolong kecil, karena kenaikan jumlah pelanggan sebesar 45,6 persen, yang tumbuh dari 9,5 juta menjadi 13,8 juta selama periode yang sama.
Akibatnya, pengeluaran per kapita, yang dihitung dengan membagi total pendapatan penjualan dengan jumlah pelanggan, menurun sebesar 22 persen, turun dari 686.000 won menjadi 535.000 won.
Angka-angka tersebut dianggap serius karena belanja bebas bea tidak mengalami peningkatan yang sesuai meskipun permintaan perjalanan pulih ke lebih dari 90 persen dari tingkat sebelum pandemi pada tahun 2019.
Jumlah pelanggan selama paruh pertama tahun ini hanya 57 persen dari 24 juta pada tahun 2019. Dari jumlah tersebut, jumlah pelanggan domestik menurun sebesar 36,2 persen, sedangkan jumlah pelanggan asing turun sebesar 54 persen.
Sebelumnya, kelompok wisata dari Tiongkok menyumbang sebagian besar penjualan bebas bea. Namun, ada tren yang bergeser dari wisata kelompok ke perjalanan individu.
"Di masa lalu, kelompok besar wisatawan Tiongkok mengunjungi toko duty free bersama-sama dan membeli barang-barang mewah dalam jumlah besar. Namun, tren perjalanan telah bergeser karena ada lebih banyak wisatawan individu," kata seorang pejabat industri.
"Para wisatawan individu ini lebih suka menggunakan kereta bawah tanah dan bus untuk perjalanan yang fleksibel dan sering terlibat dalam belanja murah di tempat-tempat seperti Olive Young atau Daiso, daripada toko duty free."
Di tengah kondisi ini, beban biaya tenaga kerja, biaya sewa bandara, dan biaya pemasaran untuk toko bebas bea telah meningkat, yang menyebabkan penurunan profitabilitas.
Salah satunya adalah Lotte Duty Free, mereka membukukan laba operasi sebesar 41,6 miliar won pada paruh pertama tahun lalu tetapi berbalik menjadi rugi operasi sebesar 46,3 miliar won pada paruh pertama tahun ini.
Demikian pula, laba operasi Shilla Duty Free dan Shinsegae Duty Free turun masing-masing sebesar 83,8 persen dan 75,5 persen.
Di tengah meningkatnya rasa krisis, Lotte Duty Free mengumumkan keadaan darurat manajemen pada bulan Juni dan sejak itu memulai restrukturisasi yang ketat untuk mengurangi biaya.
Baru-baru ini, perusahaan juga telah meluncurkan program pensiun sukarela sebagai bagian dari upaya untuk merampingkan tenaga kerja.
Toko bebas bea lainnya juga menerapkan langkah-langkah pemotongan biaya, seperti menata ulang unit bisnis dan merampingkan struktur organisasi mereka.
(bnl/fem)