Lestari Moerdijat Dukung Keberlanjutan Proses Legislasi RUU PPRT

1 month ago 7

Jakarta -

Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat (Rerie) menegaskan proses legislasi Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) harus dilanjutkan. Hal ini bertujuan agar upaya untuk memanusiakan manusia bagi para pekerja rumah tangga dapat diwujudkan.

"Tampaknya sosialisasi terkait substansi RUU PPRT dan pasal-pasal krusial di dalamnya masih belum tepat sasaran, sehingga sejumlah hal yang esensial dari RUU itu tidak dipahami oleh masyarakat bahkan pimpinan DPR," kata Rerie, dalam keterangannya, Rabu (21/8/2024).

Hal ini disampaikan Rerie saat membuka diskusi daring bertema 'Bedah RUU PPRT: Kajian Hukum Terhentinya Proses Legislasi RUU PPRT di DPR, Bagaimana Solusinya?' yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (21/8).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Diskusi yang dimoderatori Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI Arimbi Heroepoetri itu menghadirkan Peneliti Pusris Politik-BRIN Mouliza K Donna Sweinstani, Ketua Pengurus Asosiasi LBH APIK Nursyahbani Katjasungkana, Ketua Riset dan Pengembangan Organisasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Pratiwi Febri dan Pakar Hukum Tata Negara-Ketua DPP Partai NasDem Bidang Legislatif Dr Atang Irawan sebagai narasumber. Selain itu hadir pula Perempuan Mahardhika Mutiara Ika Pratiwi sebagai penanggap.

Menurut Rerie, hingga saat ini masih ada sejumlah pasal dalam RUU PPRT yang belum bisa diterima oleh para pemangku kepentingan. Ia mendorong agar berbagai langkah untuk menuntaskan pembahasan RUU PPRT menjadi undang-undang didukung semua pihak.

"Pada masa bakti DPR periode 2019-2024 yang tinggal 1,5 bulan lagi, harapannya proses legislasi RUU PPRT bisa terus berjalan," kata Rerie.

Sehingga, tambah Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, bila RUU PPRT harus di-carry over ke periode mendatang tidak perlu membahas dari awal lagi.

Dalam kesempatan tersebut, Peneliti Pusris Politik BRIN, Mouliza K Donna Sweinstani berpendapat berlangsung lamanya pembahasan RUU PPRT karena bila dilihat dari tren proses legislasi seringkali meleset dari target. Donna malah mengungkapkan sejumlah RUU yang belum selesai dibahas kebanyakan terkait dengan kepentingan perempuan.

Bila diamati, tuntasnya RUU TPKS menjadi undang-undang diwarnai tekanan dari masyarakat sipil dan gerakan perempuan. Hingga saat ini, ungkap Donna, RUU Ketahanan Keluarga dan RUU Kesetaraan Gender pun belum dibahas.

"Mungkin pimpinan dewan menganggap tidak penting hal-hal yang terkait dengan kepentingan perempuan," ujarnya.

Berdasarkan pengamatan Donna, sejumlah faktor yang menyebabkan macetnya pembahasan RUU PPRT saat ini antara lain karena ada kesengajaan untuk dihambat, tidak ada political will dari pimpinan DPR, dinilai belum perlu, dan tidak menghasilkan keuntungan elektoral.

Menurut Donna, perlu membentuk public pressure untuk mendorong RUU PPRT segera menjadi undang-undang.

Pakar Hukum Tata Negara, Atang Irawan berpendapat dalam skema politik legislasi dibutuhkan dasar pertimbangan yang jelas untuk mengklasifikasi sejumlah RUU yang masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas).

Bila dasar pertimbangannya jelas, tegas Atang, akan sangat mudah untuk menentukan skala prioritas antara RUU satu dengan lainnya dalam suatu proses legislasi.

Diakui Atang, proses legislasi RUU PPRT terlalu lambat. Atang menilai konsep kolektif kolegial sejatinya berlaku pada pimpinan DPR, karena antara ketua dan wakil ketua memiliki kewenangan yang sama.

"Sehingga bila Ketua DPR berhalangan, bila jumlah pimpinan lain sudah quorum bisa segera melanjutkan proses legislasi dengan membahas di tingkat Bamus," pungkasnya.

(prf/ega)

Read Entire Article