Jakarta -
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyebut kasus cacar monyet atau Mpox mirip dengan HIV/AIDS. Sebab, penularan terjadi kerena kontak fisik secara langsung.
"Buat pengetahuan teman-teman, penularannya ini mirip HIV sama AIDS. Jadi terjadi di kelompok-kelompok tertentu dan hampir seluruhnya terjadi karena kontak fisik," kata Budi kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (27/8/2024).
Budi lantas membeberkan penyebab banyaknya anak-anak di Afrika yang terkena Mpox. Hal itu juga yang menjadi pertanyaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat kabinet.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Budi mengatakan anak-anak di Afrika terkena Mpox karena penggunaan baju hingga handuk yang berbarengan.
"Tadi Bapak Presiden sempat tanya 'Pak Menkes kalau ini mirip HIV-AIDS penularannya kontaknya fisik, kok banyak anak-anak banyak anak-anak?' karena di Afrika itu mereka sharing baju, sharing anduk, sharing selimut tidur di tempat tidur yang sama. Jadi kalau orang tuanya kena, anak-anak di Afrika itu jadi tertular karena kan cairannya juga akhirnya kena ke anaknya. Itu sebabnya kenapa di Afrika banyak anak-anak," ujarnya.
Budi memastikan bahwa obat cacar monyet itu kini telah ada di Indonesia, begitu juga dengan vaksinnya. Secara umum, kata Budi, orang yang sudah pernah vaksin cacar sudah terproteksi.
"Hal kedua yang tadi saya sampaikan juga ke Bapak Presiden selain perkembangan di Afrika, bahwa ini obatnya udah ada, buatan Amerika ada, buatan India ada, Indonesia juga sudah miliki obatnya. Yang ketiga, vaksinnya juga sudah ada. Untuk orang-orang yang lahir di bawah tahun 70-an kayak saya kan dulu pernah divaksin cacar, itu memberikan proteksi. Jadi yang relatif usianya tua kaya saya itu terproteksi," ujarnya.
"Nah untuk yang muda-muda, vaksinnya generasi yang barunya sudah ada, satu diproduksi dari Denmark, satu diproduksi dari Jepang. Indonesia tahun 2022 waktu kemarin diangkat statusnya sebagai pandemi sudah datangkan seribu vaksin dari Denmark dan itu sudah kita berikan ke orang-orang yang memang memiliki risiko tinggi," lanjut Budi.
(eva/knv)