Aza el Munadiyan
Agama | 2025-08-16 15:48:34
Menteri Keuangan Sri Mulyani lagi-lagi bikin heboh dengan pernyataannya. Kata Menteri keuangan era tiga presiden ini, manfaat membayar pajak itu sama seperti zakat dan wakaf dimana di setiap rezeki orang kaya ada hak orang lain. Bedanya, hak itu bisa disalurkan lewat tiga jalan pajak, zakat, atau wakaf. Kalau dilihat sekilas, ucapannya terdengar indah. Pajak, zakat, dan wakaf memang sama-sama alat untuk berbagi dan menciptakan keadilan sosial. Tapi, apakah benar ketiganya bisa disamakan? Mari kita bedah.
Pajak diatur dalam berbagai undang-undang perpajakan, dan sifatnya wajib bagi semua warga negara. Tahun 2025, diperkirakan sekitar 70% penerimaan APBN masih bergantung pada pajak. Dari sinilah negara membiayai bansos, pendidikan, kesehatan, hingga pembangunan infrastruktur. Semester I 2025 saja, realisasi belanja bansos sudah tembus Rp78 triliun, termasuk PKH, Kartu Sembako, dan beasiswa KIP.
Sedangkan Zakat, sesuai UU 23/2011, adalah kewajiban ibadah umat Islam. Data BAZNAS menunjukkan, pada 2022 zakat berhasil dihimpun Rp22,4 triliun, disalurkan kepada 33,9 juta penerima manfaat, bahkan mengentaskan lebih dari 460 ribu orang dari kemiskinan. Wakaf, menurut UU 41/2004, bersifat sukarela. Potensinya luar biasa misalnya wakaf uang di Indonesia diperkirakan bisa mencapai Rp180 triliun per tahun. Sayangnya, realisasi masih minim hanya sekitar Rp1,4 triliun per 2022. Padahal, wakaf bisa menopang sekolah, rumah sakit, hingga program pemberdayaan ekonomi umat. Meski tujuannya sama-sama mulia, ketiganya punya perbedaan jelas dari sisi hukum, sifat kewajiban, dan penerima manfaat.
Retorika vs Realita
Bermasalah Ketika menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf mungkin bisa menjadi narasi manis, tapi ada beberapa ganjalan. Pertama, trust deficit yaiti banyak rakyat masih ragu apakah pajak benar-benar kembali ke rakyat kecil. Kasus korupsi dan belanja birokrasi membuat slogan “pajak untuk rakyat” terdengar hambar. Kedua, double burden dimana umat Islam membayar zakat dan pajak sekaligus. Kalau disamakan begitu saja, terasa seperti “bayar ganda” tanpa kompensasi. Ketiga, keterlihatan manfaat. Zakat dan wakaf punya hasil yang cepat terasa beras langsung sampai ke fakir miskin, sekolah dari wakaf berdiri nyata. Pajak? Manfaatnya sering tertutup jargon angka-angka APBN.
Dari Retorika ke Aksi Nyata
Pemerintah seharusnya tidak berhenti di tataran retorika, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan yaitu pertama integrasi zakat dan pajak. Zakat yang dibayarkan lewat Lembaga amil zakat nasional bisa mengurangi kewajiban pajak (tax credit), bukan sekadar mengurangi penghasilan kena pajak. Ini akan menghapus beban ganda umat Islam. Kedua, transparansi pajak. Bayangkan kalau ada informasi sederhana ke pembayar pajak “Rp100 ribu pajakmu hari ini dipakai untuk beasiswa 1 siswa SD”, tentu rakyat pasti lebih rela membayar. Ketiga, edukasi literasi fiskal dan syariah untuk memberikan pemahaman mengenai pajak, zakat, dan wakafsebagai instrumen berbeda yang saling melengkapi demi kesejahteraan rakyat dan umat Islam.
Pernyataan Sri Mulyani memang tepat jika dilihat dari kacamata fungsi sosial pajak, zakat, dan wakaf sama-sama alat berbagi. Namun, rakyat tidak butuh perbandingan simbolik semata. Rakyat butuh bukti nyata bahwa pajak benar-benar kembali ke rakyat sama seperti zakat yang benar-benar meringankan yang miskin, dan wakaf benar-benar mengalirkan manfaat jangka panjang. Kalau itu bisa diwujudkan, maka membayar pajak bisa terasa semulia zakat dan wakaf bukan sekadar kewajiban, tapi juga ibadah sosial.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.