Di tepi Pantai Pangandaran, di antara deru ombak yang tenang dan lalu-lalang pengunjung yang tak pernah sepenuhnya dapat ditebak, ada satu sosok yang setiap pagi tiba sebelum matahari naik sempurna. Namanya Pak Wagyo, laki-laki berusia hampir enam puluh tahun yang sejak 2015 memilih bertahan hidup dengan cara yang sederhana: menyewakan papan selancar.
Setiap hari, sekitar pukul enam pagi, ia sudah duduk di lapak kecilnya, sepetak ruang yang tak pernah benar-benar sepi, meski tak selalu menghidupi. Di hadapannya, beberapa papan selancar berdiri, sebagian kecil, sebagian sedang, dan sebagian cukup besar untuk pengunjung yang ingin mencoba menaklukkan ombak dengan lebih percaya diri. “Jual jasa,” begitu ia menyebut pekerjaannya. Bagi Pak Wagyo, papan-papan itu bukan usaha besar; itu hanya alat bantu untuk memenuhi kebutuhan harian.
Sebelum 2015, hidupnya berlayar di dunia yang berbeda. Ia seorang nelayan. Sejak keluar SD, bukan karena keinginan bebas, melainkan karena keadaan yang memaksanya bekerja lebih cepat dari usia. Ia mengikuti kakaknya melaut, menggantungkan hidup pada ombak dan hasil tangkapan yang tak pernah pasti. “Masalah ekonomi,” ujarnya singkat. Dari kecil bekerja, lalu menjadi dewasa terlalu cepat. “Sudah muda-muda jadi tua,” katanya, menggambarkan tubuh yang lelah mendahului umur.
Tahun-tahun berlalu, dan pekerjaan sebagai nelayan tak lagi memadai. Usianya naik, tenaganya turun, dan perahu serta laut tidak lagi ramah bagi mereka yang tak lagi kuat melawan arus. Maka ia berhenti melaut, lalu perlahan mencari cara baru untuk tetap hidup berdampingan dengan laut, tanpa harus berada di atasnya. Dari sanalah perjalanan sebagai penyedia jasa selancar bermula. Sederhana, tanpa modal besar, karena papan-papan itu bukan miliknya. Ia hanya “buruh”, mengelola milik orang lain, lalu mendapat bagian dari hasil penyewaan.
Tarif sewanya beragam, mulai dari Rp10.000 sampai 25.000, tergantung ukuran papan dan kemampuan pengunjung dalam bernegosiasi. Yang paling ia tekankan adalah satu hal: semua penyewa boleh memakai “sepuasnya”. Tanpa batas waktu. Tanpa dihitung jam. Sebuah kelonggaran yang jarang ditemukan di tempat wisata lain, tapi bagi Pak Wagyo, itu cara paling mudah untuk bertahan. “Sepuasnya,” katanya. “Yang penting ada yang nyewa” baginya, bekerja di Pantai Pangandaran bukan hanya soal penghasilan, tapi tentang ritme hidup yang sudah ia jalani bertahun-tahun.
Namun, hari-hari di tepi pantai tidak selalu berjalan sesuai harapan. Pendapatan tak menentu. Weekend memang lebih ramai, tapi tetap tidak bisa diandalkan penuh. “Kadang-kadang gak laku dua hari,” ujarnya. Bahkan kemarin ia sempat merasakan itu: dua hari penuh tanpa ada satu pun penyewa. Baru hari itu ia mendapat satu pelanggan yang menyewa papan, setelah setengah hari menunggu. Bagi orang lain mungkin tampak kecil, tapi bagi Pak Wagyo, satu penyewa berarti ada uang untuk dibawa pulang.
Kondisi cuaca juga menjadi penentu. Ketika hujan turun atau ketika anak-anak sekolah sedang tidak libur, pantai terasa lebih sepi. Musim hujan berarti dua hari tanpa pemasukan, dan itu bukan hal baru. Namun ia tidak pernah benar-benar mengeluh. Justru ia hanya berkata, “Hari ini gak ada, besok mudah-mudahan ada.” Kalimat yang pendek, namun terasa seperti filosofi hidup yang membantunya tetap bertahan selama bertahun-tahun.
Di antara kesederhanaan pekerjaannya, ada hal lain yang sering terlewat: kebersihan. Lapak-lapak di sekitar pantai memang punya petugas kebersihan, tapi tidak setiap waktu. “Ada, tapi mempet,” kata Pak Wagyo menggambarkan betapa seringnya para pedagang harus membersihkan sendiri area di depan lapak mereka. Pengunjung kadang meninggalkan sampah, kadang tidak. Ketika bersih, belum tentu tetap bersih lima menit kemudian. “Susah,” katanya sambil tersenyum kecil, bukan karena menyerah, tapi karena sudah terlalu sering menghadapi kenyataan itu.
Di balik pekerjaannya, Pak Wagyo tetap seorang kepala keluarga. Ia punya istri dan empat anak. Rumahnya berada tidak jauh dari pantai, di belakang kantor Samsat. Dekat, tapi cukup untuk membuat ritme hidupnya sederhana: berangkat pagi, pulang sore. Tidak perlu perjalanan panjang. Tidak perlu ongkos tambahan. Rutinitas yang membantu menjaga penghasilan agar tidak habis sebelum ia membawa pulang apa pun.
Meski hidupnya tampak keras, ia tetap memegang prinsip bahwa rezeki akan datang selama dirinya sehat. “Sebaiknya kita sehat,” katanya. Bagi Pak Wagyo, kesehatan jauh lebih penting daripada sekadar pemasukan harian. Ia percaya bahwa selagi tubuhnya masih bisa duduk, mengawasi papan-papan selancar, dan menyambut pengunjung yang datang, hidup akan terus berjalan.
Saat ditanya apakah penghasilannya cukup, ia hanya menjawab singkat, “Ya, harus cukup. Kita cukup-cukupi.” Kalimat yang sederhana namun memuat kenyataan kelas pekerja yang sudah terbiasa menghadapi naik-turunnya pendapatan. Tidak ada kepastian, tapi ada penerimaan. Tidak ada garansi, tapi ada keyakinan bahwa hari esok bisa saja membawa keberuntungan yang berbeda.
Di akhir percakapan, Pak Wagyo tak banyak meminta. Ia tidak memiliki kontak yang bisa dihubungi, tidak terbiasa dengan teknologi, dan tidak merasa perlu untuk itu. Baginya, lapak di tepi pantai sudah cukup menjadi “alamat” yang ia jaga setiap hari. Jika ada yang mencarin...

6 hours ago
2





















:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5383686/original/026925400_1760688062-ustaz_derry.jpg)




:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5381914/original/040391900_1760521874-yono_bakrie2.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5393441/original/083236300_1761554365-IMG-20251027-WA0005.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2815500/original/083957300_1558773257-torch-ginger-177012_1920.jpg)



:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-color-landscape-new.png,1100,20,0)/kly-media-production/medias/5377880/original/083371100_1760164316-2025098AA_Timnas_Indonesia_Vs_Lebanon-018__1_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3228643/original/084415600_1599207661-maps-4237764_1280.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5381829/original/005725100_1760518725-zulfugar-karimov-B9klYJqQ4DU-unsplash.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5381852/original/060855400_1760519166-IMG-20251015-WA0008.jpg)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4829165/original/007723300_1715494441-Screenshot_2024-05-12_131307.jpg)