PRESIDEN Prabowo Subianto menyebut Belanda dan Inggris seenaknya datang ke Indonesia membuat garis perbatasan tiap negara yang dijajah. Pernyataan ini disampaikan Prabowo saat pidato kenegaraan di Sidang Tahunan MPR RI di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Jumat, 15 Agustus 2025.
Awalnya, Prabowo menegaskan Indonesia tetap berada pada garis non-blok dan ingin berdamai dengan semua orang. Namun ia menyayangkan kadang ada masalah dengan negara tetangga karena masalah perbatasan yang diwariskan penjajah.
Prabowo menyebut Indonesia–Malaysia yang bangsa satu rumpun terbelah politik devide et impera bangsa kolonial. Dia menyebut konflik perbatasan yang terjadi di kawasan Asia Tenggara akibat praktik bagi-bagi wilayah oleh bangsa kolonial. “Belanda datang dengan Inggris,dan mereka bikin garis seenak jidatnya. Yang repot kita sekarang. Kita mau ditabrak sama Malaysia, kita sahabat sama Malaysia, kita satu rumpun,” ujar Prabowo.
Prabowo mengatakan memang selalu ada politik adu domba atau devide et impera. Ia pun meminta Indonesia jangan naif dan terus-menerus diadu domba. Kekesalan Prabowo itu timbul di tengah perselisihan tentang nama Ambalat dengan Malaysia.
Sebelumnya Menteri Luar Negeri Malaysia Dato’ Seri Mohamad Hasan menyebut wilayah maritim mencakup Blok ND6 dan ND7 yang tertera pada Peta Baru Malaysia 1979 sebagai Laut Sulawesi, bukan Ambalat seperti istilah yang digunakan Indonesia. “Putusan Mahkamah Internasional (ICJ) tahun 2002 tentang kedaulatan Kepulauan Sipadan dan Ligitan makin memperkuat posisi wilayah maritim kita di Laut Sulawesi,” kata Mohamad Hasan.
Hasan menegaskan, setiap terminologi harus mencerminkan posisi kedaulatan dan hak hukum Malaysia, sesuai dengan UNCLOS 1982. Ia mengatakan pembahasan akan dilakukan melalui mekanisme diplomatik, hukum, dan teknis dalam kerangka kerja bilateral yang sudah disepakati.
Menanggapi pernyataan Malaysia, Menteri Luar Negeri Sugiono mengatakan Indonesia ingin penyelesaian sengketa Ambalat ditempuh secara damai. “Kami selesaikan baik-baik. (Melalui) diplomasi,” kata Sugiono.
Adapun Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Abdul Kadir Jailani, menjelaskan perundingan batas wilayah Laut Ambalat dan Malaysia berlangsung sejak 2005 dan telah mencapai 43 putaran. Ia memerinci, proses ini memerlukan waktu karena kompleksitas teknis.
“Proses perundingan telah berlangsung 43 putaran sejak 2005. Proses perundingan perbatasan memiliki kompleksitas teknis yang cukup pelik,” ujarnya di Kebayoran Baru, Jakarta, pada hari yang sama. Kadir menegaskan, Indonesia akan memperjuangkan kepentingan nasional berdasarkan prinsip-prinsip Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.